Kuingat kamu
melalui ombak yang hangat dan pasir putih yang lolos dari jemari kakiku. Yesaya
berlarian, terpekik senang mengejar bola berwarna-warni seukuran tubuhnya di
sepanjang garis buih; untuk seumurnya anak itu cukup pintar untuk tidak bermain
jauh-jauh. Aku melihatmu di matanya dan rambut ikal cokelatnya, pipinya yang
bulat bersemu merah dan gigi depannya yang tidak sama rata. Yesaya bocah yang
tampan. Aku bangga memilikinya, beserta kenanganmu.
Tujuh tahun
lalu ombaknya tidak sehangat ini dan hari tidak secerah sekarang. Warna langit kala
itu senada dengan pantulannya di samudera di bawahnya, seperti campuran cat air
yang kamu pakai untuk melukis gaun yang kupakai di saat kita bertemu untuk
pertama kalinya.
“Kenapa bajunya
kelabu?” itu hal pertama yang kamu tanyakan padaku, yang kujawab dengan
mengangkat bahu. Kamu cuma orang asing di pulau yang kudatangi semata untuk
liburan pelepas penat kedewasaan. Kamu menjulang di atasku, gagah, mempesona,
ramah, dan aku tetap tak acuh. Perempuan. Di tanah orang. Jual mahal sedikit
lah, pikirku (bodoh). Padahal kamu salah satu dari sangat sedikit sosok yang
mau mengajakku berbincang sejak aku tiba di sini, seluruhnya sendiri.
Kita
berbincang. Kamu pelukis, sementara aku tidak terlalu menarik untuk diceritakan.
Jadinya aku lebih menikmati kisah hidupmu. Lidahmu cadel. Aku sering geli
sendiri mendengarmu (mencoba) mengucapkan beberapa kata, hingga akhirnya kita
sama-sama menertawakan ketidakmampuanmu menyebut namamu sendiri dengan benar.
Bergelas-gelas minuman. Berpuluh-puluh nyanyian kemudian. Belasan jam yang
melintas setelah itu. Semuanya kita tidak hanya sekadar habiskan atau lewati,
namun kita nikmati.
Kamarmu wangi
cendana, yang entah bagaimana menyatu dengan manisnya bersama aroma cologne-mu yang segera setelahnya
menjadi wangi kesukaanku, hingga sekarang. Malam itu agak gerah, jadi kamu
membuka pintu kamarmu untuk membiarkan angin masuk. Aku bisa melihat bulan
purnama dengan sempurna dari situ. Kamu bilang ini saatnya melukis.
Bulan
mengantarkan ilham, katamu. Cat air, ujarmu, lebih memahamimu. Aku mengiyakan
saja, terlalu penasaran dengan hasilnya. Kamu melukis dengan jari, bukan kuas.
Aku menanti hingga aku tertidur lagi. Kamu bangunkan aku saat fajar menjelang.
Perempuan di
kanvasmu terlihat begitu kesepian, kubilang saat kamu meminta pendapatku.
Tanganmu
merangkulku, jemarimu masih belepotan cat; bagiku, hangat tubuhmu seperti
kelambu yang melindungimu dari gigitan serangga. Ringan namun menentramkan.
“Apa kamu
sekarang masih kesepian?”
Tidak. Tidak
bersamamu.
Kita tidak
mengucap janji apa pun kala bertukar selamat tinggal. Realitas menungguku di seberang
sana, dan kamu terlalu mirip mimpi indah yang membuatku tidak mau terbangun,
seberapa harus juga. Karena itu aku pergi. Kita tidak saling menghubungi. Buat
apa? Kamu kan bukan kenyataan untukku.
Empat bulan
sebelum Yesaya lahir, aku kembali. Tidak untuk apa-apa. Tidak karena
merindukanmu. Tidak juga karena aku merasa harus memberi tahumu mengenainya.
Aku hanya merasa perlu datang lagi. Di kuil dekat tempat tinggalmu, aku
menanyakan namamu.
Sudah hampir dua purnama, kata lelaki tua di sana,
kamu tidak tinggal di situ lagi. Dia membawaku ke rumah barumu. Dia
mengantarkanku ke pusaramu.
Untuk pertama
kalinya, aku merasakan tendangan Yesaya.
Di pantai
yang sama di saat kita bertemu pertama kali, di hari yang luar biasa berbeda,
Yesaya menghampiriku sambil tertawa. Memelukku. Celana renangnya berwarna
kelabu. Namun tidak ada di antara kami yang merasa kesepian. Kami punya satu
sama lain. Dan di pantai ini, aku dan Yesaya bersamamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar