Sabtu, 21 September 2013

Ombak Hangat


Kuingat kamu melalui ombak yang hangat dan pasir putih yang lolos dari jemari kakiku. Yesaya berlarian, terpekik senang mengejar bola berwarna-warni seukuran tubuhnya di sepanjang garis buih; untuk seumurnya anak itu cukup pintar untuk tidak bermain jauh-jauh. Aku melihatmu di matanya dan rambut ikal cokelatnya, pipinya yang bulat bersemu merah dan gigi depannya yang tidak sama rata. Yesaya bocah yang tampan. Aku bangga memilikinya, beserta kenanganmu.

Tujuh tahun lalu ombaknya tidak sehangat ini dan hari tidak secerah sekarang. Warna langit kala itu senada dengan pantulannya di samudera di bawahnya, seperti campuran cat air yang kamu pakai untuk melukis gaun yang kupakai di saat kita bertemu untuk pertama kalinya.

“Kenapa bajunya kelabu?” itu hal pertama yang kamu tanyakan padaku, yang kujawab dengan mengangkat bahu. Kamu cuma orang asing di pulau yang kudatangi semata untuk liburan pelepas penat kedewasaan. Kamu menjulang di atasku, gagah, mempesona, ramah, dan aku tetap tak acuh. Perempuan. Di tanah orang. Jual mahal sedikit lah, pikirku (bodoh). Padahal kamu salah satu dari sangat sedikit sosok yang mau mengajakku berbincang sejak aku tiba di sini, seluruhnya sendiri.

Kita berbincang. Kamu pelukis, sementara aku tidak terlalu menarik untuk diceritakan. Jadinya aku lebih menikmati kisah hidupmu. Lidahmu cadel. Aku sering geli sendiri mendengarmu (mencoba) mengucapkan beberapa kata, hingga akhirnya kita sama-sama menertawakan ketidakmampuanmu menyebut namamu sendiri dengan benar. Bergelas-gelas minuman. Berpuluh-puluh nyanyian kemudian. Belasan jam yang melintas setelah itu. Semuanya kita tidak hanya sekadar habiskan atau lewati, namun kita nikmati.

Kamarmu wangi cendana, yang entah bagaimana menyatu dengan manisnya bersama aroma cologne-mu yang segera setelahnya menjadi wangi kesukaanku, hingga sekarang. Malam itu agak gerah, jadi kamu membuka pintu kamarmu untuk membiarkan angin masuk. Aku bisa melihat bulan purnama dengan sempurna dari situ. Kamu bilang ini saatnya melukis.
Bulan mengantarkan ilham, katamu. Cat air, ujarmu, lebih memahamimu. Aku mengiyakan saja, terlalu penasaran dengan hasilnya. Kamu melukis dengan jari, bukan kuas. Aku menanti hingga aku tertidur lagi. Kamu bangunkan aku saat fajar menjelang.

Perempuan di kanvasmu terlihat begitu kesepian, kubilang saat kamu meminta pendapatku.
Tanganmu merangkulku, jemarimu masih belepotan cat; bagiku, hangat tubuhmu seperti kelambu yang melindungimu dari gigitan serangga. Ringan namun menentramkan.

“Apa kamu sekarang masih kesepian?”

Tidak. Tidak bersamamu.

Kita tidak mengucap janji apa pun kala bertukar selamat tinggal. Realitas menungguku di seberang sana, dan kamu terlalu mirip mimpi indah yang membuatku tidak mau terbangun, seberapa harus juga. Karena itu aku pergi. Kita tidak saling menghubungi. Buat apa? Kamu kan bukan kenyataan untukku.

Empat bulan sebelum Yesaya lahir, aku kembali. Tidak untuk apa-apa. Tidak karena merindukanmu. Tidak juga karena aku merasa harus memberi tahumu mengenainya. Aku hanya merasa perlu datang lagi. Di kuil dekat tempat tinggalmu, aku menanyakan namamu. 

Sudah hampir dua purnama, kata lelaki tua di sana, kamu tidak tinggal di situ lagi. Dia membawaku ke rumah barumu. Dia mengantarkanku ke pusaramu.

Untuk pertama kalinya, aku merasakan tendangan Yesaya.

Di pantai yang sama di saat kita bertemu pertama kali, di hari yang luar biasa berbeda, Yesaya menghampiriku sambil tertawa. Memelukku. Celana renangnya berwarna kelabu. Namun tidak ada di antara kami yang merasa kesepian. Kami punya satu sama lain. Dan di pantai ini, aku dan Yesaya bersamamu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar