Mari membayangkan bersama kalau
kita benar-benar bersama.
Kita tidak sempurna, jauh dari
sempurnya, seperti juga saya yang kadang tidak tahan melihat ketidaksempurnaan
kamu, Kamu juga pasti begitu. Membayangkan yang lain. Kulit putih halus
mungkin. Badan mungil. Mata bulat. Bibir tebal. Atau senyum manis ceria. Yang
bukan saya. Yang saya tidak punya. Yang membuat saya bukan yang kamu inginkan.
Memangnya kamu yang saya
inginkan? Ya tidak juga sih. Kamu harusnya lebih sering mandi. Lebih
memperhatikan kebersihan tubuh kamu seperti dulu waktu itu saya belum kenal kamu
tapi terlanjur menggilai. Kamu harusnya jangan makan terlalu banyak. Kamu harusnya
ganti model kacamata. Kamu harusnya jangan bercukur. Kamu harusnya jangan
terlalu banyak pikiran.
Kenapa juga coba kamu harus banyak pikiran? Memang tanggung jawab kamu apa sih? Siapa sih? Ada saya lho di sini. Serasa sudah seabad siap untuk mendengar dan menemani kamu. Itu juga sudah saya bilang ke kamu berkali-kali kan ya? Kamu masih belum bisa percaya saya. Atau mencoba mengizinkan hati kamu untuk menerima saya, baik kesiapan saya mau pun ketidaksempurnaan saya. Sementara saya, yang juga merasa belum siap menerima kamu, sudah pernah mengecangkan niat untuk belajar, Belajar untuk bisa memaklumi, mentoleransi, dan menyayangi bagaimana pun kamu. yang bau, dekil, besar, dan penuh ketidakpercayaan pada orang. Saya sudah mau untuk berusaha untuk bisa kamu terima dan sayangi, kalau saja kamu juga mau mencoba memberi saya kesempatan.
Sekarang waktunya
berandai-andai.
Kita bersama. Saya senang. Tapi,
saya tidak tahu kamu senang juga apa tidak. Kamu belum lulus tapi tidak apa-apa
untuk saya, kamu masih bisa saya banggakan. Kamu, sialnya, sepertinya tetap
luar biasa kikuk untuk membanggakan saya. Kamu tidak tahu apa yang kamu harus
lakukan, apa yang kita lakukan, sekarang mau pun akan. Sedangkan saya tidak mau
memaksa, tidak peduli seingin apa pun saya. Sering saya benci dan mual. Namun
saya lebih sering kangen dan ingin kamu ada walau bukan secara fisik tapi
seperti yang pernah saya katakan ke kamu waktu itu: “Kamu bisa bikin saya
tenang”. Dan itu bukan gombal. Sudah sering terbukti.
Tapi saya di mata kamu apa ya? Bahkan kalau pun kita menyebut diri bersama, kamu memang bisa sayang sama saya? Saya yang sudah pasti belum bisa membuat kamu terpesona seperti yang lainnya. Kamu memang bisa bilang saya cantik? Saya ragu. saya, di sisi lain, akan selalu menganggap fisik kamu bagus, walau mungkin sebenarnya tidak. Karena hati saya yang melihat kamu, bukan mata. Bisa tidak, kamu bilang kamu senang berada dekat saya? Bisa tidak, kamu bilang saya berarti untuk kamu lebih dari siapa pun yang pernah kamu sebut berarti? Sepertinya tidak ya. Tidak mungkin. Kamu bukan orang yang ada di kepala saya yang selama ini saya harapkan nyata. Kamu ya begitu itu, dan cuma diri kamu yang menentukan apakah kamu akan menjadi sosok itu, itu pun hanya kalau kamu punya perasaan yang sama besarnya dengan saya.
Itu bisa saja sih. Tapi saya
menolak percaya, karena penyangkalan jauh lebih mudah dibandingkan dengan
harapan yang ditutup oleh kekecewaan.