Sabtu, 29 Oktober 2011

5 Film Horor Hollywood yang Menghantui Masa Kecil Saya

Sebagai seseorang yang sering menyebut diri sebagai pecandu film, saya gemar menonton film hampir tanpa pandang bulu—atau dalam konteks ini, mungkin lebih tepat disebut ‘tanpa pandang genre’. Hampir semua genre film saya lalap. ‘Hampir’, karena sebenarnya ada beberapa jenis film yang tidak says tonton. Biasanya hal ini sangat tergantung kepada selera saya sendiri. Salah satu genre film yang paling malas saya tonton adalah film horor.

Saya memang bukan penggemar film horor. Bukan karena takut, hanya bukan termasuk selera saya saja. Tapi ada beberapa film horor yang pernah saya tonton waktu kecil (seringnya diiringi unsur ketidaksengajaan) yang sampai detik ini nggak bisa saya hapuskan dari ingatan, saking ngerinya. Seolah rasa takut yang waktu itu saya rasakan datang menyerang untuk menghantui lagi, hanya dengan mengingat judulnya. Memang, belum banyak film horor yang sudah saya saksikan, tapi kurang lebih saya yakin banyak yang akan sepakat tentang bagaimana superdupernakutinnya beberapa film di bawah ini kalau kamu menontonnya di usia ketika kamu masih belum bisa perkalian lima. Apalagi, semua film yang disebutkan berikut rating-nya R atau 17 tahun ke atas karena penuh dengan kekerasan dan adegan-adegan mengerikan.

Anggap saja tulisan ini sebagai semacam peringatan untuk selalu mengawasi tontonan anak di bawah umur demi menghindari trauma berkelanjutan seperti yang saya alami.

Serius. Jauhkan anak-anak dari menonton film-film di bawah ini demi mempertahankan kewarasan dan kebahagiaan masa kecil mereka.

1. Dracula (1992)
Francis Ford Coppola
Liat gambar posternya aja saya pengen nangis.
Pertama ditonton: Kelas 3 SD
Waktu saya pertama kali pindah dari kamar orang tua ke kamar sendiri, saya juga dikasih TV 14 inci di kamar sebagai bonus. Belum tahu apa alasan di balik pemberian benda yang sebenarnya kurang pantas dihadiahkan ke anak umur segitu, tapi kemungkinan besar hal ini dilakukan untuk mencegah saya mengendap-endap ke kamar orang tua kalau malam menjelang. Jadi saya anteng nonton TV, orang tua anteng... tidur. Semuanya senang. Ahem.

Semenjak itu, dimulailah kebiasaan begadang saya yang disebabkan oleh mantengin TV terus-terusan. Suatu malam, entah ada kekuatan aneh apa, saya memindahkan channel ke stasiun TV yang lagi memutar film Dracula. Waktu itu yang saya ingat saya merasa kenal sama tokoh utamanya (Keanu Reeves, duh) dan tokoh wanitanya (sebelumnya saya pernah nonton Edward Scissorhand). Jadi saya fikir, apa salahnya nonton.


Big mistake.


(Unfortunately) Unforgettable Scene(s):
  • Waktu sang Dracula hendak menyelinap ke kamar Mina, dia berubah wujud jadi semacam manusia serigala. Nggak tau kenapa, tapi waktu itu sosok dan bayangannya di tembok putih di bawah bulan purnama menakutkan banget buat saya.
  • Adegan yang ada tiga vampir ceweknya. The Brides of Dracula namanya, kalau nggak salah. Mereka dengan gaun tipis-nyaris-tembus-pandang menggoda Jonathan Harker waktu dia menginap di purinya Dracula. Mungkin karena ada aspek erotisnya, termasuk teknik pencahayaan yang menonjolkan penggambaran para cewek bertaring, haus darah, sekaligus pada horny itu di mata saya yang (waktu itu) masih lugu benar-benar sebuah mimpi buruk.
    Tapi mungkin buat sebagian orang malah jadinya mimpi indah, ya?
  • Lagi-lagi menyangkut Mina dan Dracula. Saya ingat perasaan setengah-mual yang saya rasakan, meskipun pada saat itu saya sama sekali nggak ngerti artinya. Sekarang saya tahu kalau obsesi si Dracula kepada Mina yang sangat kentara itu lah yang bikin saya nggak nyaman. Apalagi ditambah adegan (seingat saya) Dracula yang dalam proses mengubah Mina jadi pengisap darah sekaligus pasangannya, nemplok terbalik di dinding bersama Mina melakukan sesuatu yang kala itu masih terlalu sulit untuk saya fahami.

Ingat, semua ini saya tonton di usia semuda Chikita Meidy waktu dia dulu masih beken.


2. Poltergeist 3 (1988) – 
Gary Sherman
Pertama ditonton: Kelas 5 SD
Salah satu alasan kenapa saya berani nonton ini adalah karena saya waktu itu nggak sendiri. Saya nonton film ini di kamar orang tua, tepatnya ketika saya dan adik nginep bareng ibu karena ayah sedang dinas keluar kota. Saya ingat benar, film ini diputar jam 11 malam di hari Selasa. Saat ibu dan adik sudah terlelap duluan, saya bersikeras nonton.

Another big mistake.

Sebelumnya saya sama sekali belum pernah nonton prekuel maupun sekuel film ini, tapi saya langsung tahu bahwa Poltergeist 3 adalah film yang minta ampun parah banget nakutinnya, dari awal sampai menit paling terakhir. Saya memang nggak begitu ngerti jalan ceritanya, tapi itu jadi nggak penting lagi setelah semakin lama adegan yang digelar semakin bikin saya bersyukur saya nggak sedang sendirian.


(Unfortunately) Unforgettable Scene(s):
Hampir semuanya. Si hantu Poltergeist-nya; si nenek cenayang gendut-pendek yang bersuara kayak kambing kecekek dan bermuka aneh; adegan tokoh yang tersedot cermin; dan adegan sepasang kekasih yang setelah berciuman, sang cowok tersenyum lalu merobek wajah sang cewek dan sang cewek menjerit tapi tanpa ekspresi. Saya nggak mungkin lupa gimana seremnya itu.

Baru belakangan saya tahu bahwa film ini film terkutuk yang menghabisi nyawa pemain-pemainnya. Otomatis fakta itu membuat film ini berjuta kali lipat lebih mengerikan.

3. The Guardian (1990) – 
William Friedkin
Pertama ditonton: Kelas 1 atau 2 SD
Saya memang hampir nggak ingat sama sekali jalan cerita film ini, kecuali kilasan-kilasan seperti: ‘oh ada bayinya’, ‘kalau nggak salah tentang pengasuh bayi’, dan ‘pokoknya ada kata “Guardian”-nya aja’, sampai saya cari di IMDb dan menemukannya.

Kalau saya jadi ayah saya dan menangkap basah anaknya yang baru enam tahun menonton film macam begini, mungkin saya akan mempertanyakan pertanggungjawaban saya sebagai orang tua.


(Unfortunately) Unforgettable Scene(s):
Hanya satu adegan yang melekat erat di benak saya sampai saat ini, yaitu ketika ayah sang bayi mengetahui rencana jahat pengasuh bayinya, lalu menebang sebuah pohon besar dekat rumahnya (yang ada kaitannya dengan si pengasuh—saya nggak mau ngasih spoiler) dengan menggunakan gergaji rantai. Ketika mata gergaji tersebut menyentuh batang pohon, pohon tersebut mulai mengeluarkan darah merah segar yang mengalir ke tangan dan menciprat ke muka sang ayah.

Macam yang beginian nih yang waktu itu saya tonton! Dasar anak kecil sakit jiwa.



4. Tales from The Crypt: Demon Knight (1995) – 
Ernest R. Dickerson
Pertama ditonton: Kelas 4 SD
Film yang dibintangi Jada Pinkett waktu masih cupu sebelum ditambah embel-embel Smith ini diputar ketika saya sedang frustasi mengerjakan LKS Matematika (pelajaran yang paling nggak saya bisa waktu SD, sebelum akhirnya digeser oleh Fisika dan Kimia). Secara tidak sengaja mata saya pun tertumbuk kepada TV yang saya biarkan menyala. Waktu itu saya benar-benar nggak ngerti ceritanya, dan bertanya-tanya kenapa ada tengkorak gondrong bisa ngomong dan cowok nyebelin yang main di Titanic itu di film ini maksudnya jadi siapa. Tapi tetap aja saya tonton.


(Unfortunately) Unforgettable Scene(s):
Secara samar-samar saya ingat ada adegan tangan putus dan bunuh-bunuhan, tapi yang saya paling ingat justru adegan ketika tokoh si Billy Zane mencoba merayu si Jada Pinkett dengan cara-cara yang creepy dan mengajaknya berdansa dilatarbelakangi bathtub. Adegan itu bikin saya merasa nggak enak di perut, kayak mau muntah.
Oh iya deng ada ini juga.

5. Gremlins (1984) 
– Joe Dante


Pertama ditonton: Kelas 1 atau 2 SD
Saya nonton ini bareng pengasuh saya dan adik yang waktu itu masih balita. Awal film ini cukup menyenangkan untuk ditonton dua anak kecil, makanya pengasuh saya tidak berkeberatan untuk membiarkan kami nonton. Apalagi Gizmo -nya imut-imut parah... setidaknya sebelum munculnya para monster Gremlin sinting yang mukanya pada mirip setan itu. Dari situ semuanya menjadi jauh dari menyenangkan.

(Unfortunately) Unforgettable Scene(s):
Waktu para Gremlins terbakar dan mereka menjerit minta tolong saat tubuhnya perlahan meleleh jadi genangan hijau buluk yang bikin mual. Bleh.


Honorable Mentions:
1. Amazing Stories
Ingat nggak sama serial TV ini? Kalau masa kanak-kanak kamu berkisar di tahun 90-an seperti saya (*uhuksudahtuayauhuk*, kemungkinan besar bakal ingat. Kalau nggak salah serial ini diputar setiap Senin sampai Jumat pukul 9 pagi di stasiun TV swasta tertua di negeri ini. Beberapa episodenya bahkan pernah disutradarai oleh Steven Spielberg. Setiap episode memuat film pendek yang aneh, janggal, sekaligus mengagumkan. Setiap cerita selalu meninggalkan perasaan yang ganjil buat otak anak SD saya. Perasaan tersebut masih bertahan bahkan sampai sekarang.




2. Tales from the Darkside

Mirip dengan acara di atas, serial ini juga menyajikan antologi film pendek di setiap episodenya. Bedanya, seingat saya acara ini diputar malam-malam—jam 10an kalau nggak salah—dan cerita-ceritanya agak lebih gelap dan seram dibanding Amazing Stories. Ada satu cerita yang nggak tahu kenapa nggak bisa saya lupain. Ceritanya ada seorang anak petani yang nggak sengaja menyebabkan tetangganya kehilangan dua tangannya di mesin penggiling gandum. Tetangga itu bersumpah akan membalas dendam. Setelah beberapa waktu, kuda peliharaan si anak melahirkan. Ternyata bayi kuda tersebut lahir dengan dua kaki depan yang buntung, persis seperti tetangga sang anak. Anak tersebut mendapati sang tetangga tengah mengamatinya sambil menyeringai jahat. Si anak seketika merasa luar biasa ketakutan ketika mengingat bahwa ibunya juga tengah mengandung dan akan segera melahirkan...


Setelah membuat daftar ini, saya jadi sadar kalau masa kecil saya ternyata aneh banget. Saya benar-benar seseorang yang dibesarkan oleh televisi. Lihat aja, umur baru lepas balita, tapi sudah pernah nonton film-film kayak gitu. Pantesan sekarang saya tumbuh sedikit melenceng dari kenormalan.
Tapi kalau dipikirkan lagi, apa bedanya saya di masa lalu, yaitu seorang anak aneh yang sukanya begadang nonton film yang tidak sesuai usianya, dengan anak-anak masa di masa kini yang bela-belain menginap di lantai depan kamar hotel SM*SH, menyanyikan P-L-A-Y-B-O-Y dan bukannya cit cit cuit, atau saling bertukar pin BB dan bukannya koleksi kertas surat seperti dulu?

Mungkin perbedaannya terletak pada konsepsi bahwa hal-hal itu-lah yang justru disebut ‘normal’ sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar